MASYARAKAT KAMPUNG GENDENG SWADAYA MENYELENGGARAKAN PELATIHAN SESORAH

Globalisasi berjalan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi, di samping membawa kemajuan di dalam pribadi setiap elemen masyarakat, globalisasi juga memberikan dampak terhadap sebuah budaya. Eksistensi budaya menjadi terancam, sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap budaya mereka adalah tujuan yang paling utama.

 Dengan adanya kesadaran dari masing-masing pribadi masyarakat akan dapat sangat membantu tetap bertahannya budaya kita, karena kesadaran akan menggerakkan hati mereka untuk mencintai budaya mereka. Dengan demikian, hal tersebut akan mendorong mereka untuk selalu berusaha  menjaga keberadaannya, sehingga eksistensi budaya ini akan terus tetap terjaga.

Kebudayaan Jawa yang paling melekat dalam pribadi setiap masyarakatnya adalah bahasa Jawa. Setiap hari di mana saja dan kapan saja mereka selalu menerapkannya. Dari anak kecil hingga orang dewasa dapat menggunakannya dengan fasih, meskipun hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar menguasai bahasa Jawa tersebut, karena bahasa jawa memiliki tingkatan-tingkatan dalam penggunaanya. Tingkatan-tingkatan tersebut menyebabkan tidak semua dari mereka dapat menguasai dengan baik. Bahasa Jawa terdiri atas bahasa krama inggil, krama alus , krama lugu, krama madya, dan ngoko.

Krama inggil biasanya digunakan sebagai bahasa para MC hajatan, krama alus digunakan saat berbicara dengan orang yang dihormati, sedangkan ngoko digunakan dalam perbincangan antara orang-orang dekat atau biasa digunakan oleh para orang tua untuk berbicara dengan anak-anak mereka, atau oleh  orang dewasa kepada orang-orang usia di bawah mereka dan dialog antara teman sebaya. Keanekaragaman ini menambah kekayaan budaya Jawa, namun hal ini juga justru menjadikan masyarakatnya enggan untuk menerapkannya.

Pelestarian Budaya Jawa khususnya bahasa lisan ini oleh Warga Kampung Gendeng Kelurahan Baciro diwujudkan dalam kegiatan pelatihan Sesorah. Kegiatan yang diselenggarakan tanggal 3-5 Januari 2020 ini bertempat di Ndalem Bapak H. Ahmad Sudibyo, 15 peserta pelatihan dengan tekun dan serius mendalami teknik sesorah bahasa jawa. Kegiatan ini merupakan wujud kecintaan masyarakat kampung Gendeng terhadap budaya jawa yang adhiluhung, untuk mendukung keistimewaan Yogyakarta. Kegiatan ini sepenuhnya dibiayai dari swadaya masyarakat.

Sesorah atau pidato artinya berbicara, mengungkapkan gagasan didepan orang banyak secara lisan dengan teknik tertentu. Pidato dikatakan berhasil jika mampu mempengaruhi, membujuk atau mengubah suasana hati orang yang mendengarkannya. Dengan demikian, pidato menjadi sarana yang sangat penting untuk mencapai berbagai tujuan, terutama dalam hidup bermasyarakat.

Sesorah dalam tradisi jawa menurut tujuannya dapat dibedakan sebagai berikut :

  1. Atur pambagyaharjo, yaitu sesorah untuk menyambut kedatangan tamu atau atur sugeng rawuh kepada tamu oleh pemilik rumah atau panitia.
  2. Atur pawartos, yaitu sesorah untuk menyampaikan informasi mengenai berbagai hal. Contohnya antara lain sesorah dalam rapat-rapat, promosi barang dan sebagainya.
  3. Tanggap sabda, yaitu sesorah untuk menanggapi atur pambagyaharjo ( ucapan selamat datang) yang disampaikan oleh tuan rumah. Biasanya sesorah jenis ini dilakukan oleh wakil para tamu.
  4. Atur panglipur, yaitu pidato yang isinya memberi dukungan dan penguatan terhadap orang yang sedang menderita kesusahan. Contohnya antara lain sesorah dalam acara lelayu atau dihadapan orang-orang yang sedang mengalami musibah
  5. Pengajak, yaitu sesorah yang isinya ajakan atau bujukan kepada pendengar agar mengikuti atau melakukan sesuatu. Contohnya seperti sesorah dalam penyuluhan-penyuluhan.
  6. Medhar sabda atau ular-ular, yaitu sesorah yang isinya menyampaikan pitutur luhur (nasihat) atau menyampaikan ilmu bermanfaat.
  7. Dapat juga beberapa tujuan diatas tercakup dalam satu sesorah.

 

Ketika sesorah, perlu diperhatikan hal-hal yang bisa menumbuhkan perhatian para hadirin, sehingga para pendengar pasti akan tertarik dan dengan setia menyimak apa yang disampaikan oleh pembicara.

Bahasa yang dipilih harus sesuai dengan orang yang dihadapi, jenis acara, serta situasi dan kondisi. Bahasa harus mudah diterima oleh pendengar, sederhana tetapi tetap indah, dan sesuai kaidah. Karena itu akan tercipta untaian kalimat yang keluar secara selaras dan benar.

Unggah-ungguh basa adalah penggunaaan bahasa jawa secara benar dan tepat. Dalam bahasa jawa dikenal dengan adanya undha-usuk basa atau tingkatan penuturan. Oleh sebab itu, sesorang pranatacara atau pamedhar sabda harus bisa menerapkan unggah-ungguh dan memilih tingkatan bahasa yang tepat dalam berbicara, jangan sampai salah penempatannya.

Sebenaranya bahasa jawa mempunyai tingkat tutur banyak sekali yang kadang kala membuat orang kesulitan memahami. Namun, untuk memudahkan pelajaran bahasa jawa, tingkat tutur bahasa jawa dikembangkan, dalam arti lebih diringkaskan penjabarannya.